Jumat, 12 Juni 2015

PIPA

Ketika aku memasuki tahun ketujuh di sekolah, seorang psikolog datang dan meminta kami untuk ikut dalam tes kemampuan adaptasi. Psikolog itu menunjukkan dua puluh kartu yang berbeda, satu per satu diperlihatkan, bertanya kepadaku tentang apa yang salah dari gambar itu. Bagiku, seluruh gambar terlihat baik - baik saja, tapi psikolog itu bersikeras kembali bertanya dan memperlihatkan gambar pertama, kartu yang di dalamnya ada seorang anak. “Apa yang salah dengan gambar ini?” dia bertanya dengan suara yang lelah. Aku pun mengatakan jika gambar terlihat baik - baik saja. Psikolog marah dan berkata, “Apakah kau tidak melihat anak di dalam gambar ini tidak memiliki telinga?” Sejujurnya, ketika aku kembali melihat gambar itu, aku melihat seorang anak yang tak punya telinga. Tapi, bagiku semua masih terlihat baik - baik saja. Psikolog mengatakan jika aku dapat digolongkan sebagai “penderita gangguan persepsi yang parah," dan pada akhirnya aku dipindahkan ke sekolah untuk menjadi tukang kayu. Ketika aku berpindah di sana, ternyata aku alergi dengan serbuk gergaji, hingga akhirnya aku diarahkan ke kelas pembuatan benda logam. Aku cukup baik dalam kelas itu, meskipun aku tak cukup menikmatinya. Sejujurnya, aku tak menyukai sesuatu yang khusus seperti itu.  Ketika aku menyelesaikan sekolahku, aku mulai bekerja di pabrik pembuatan pipa. Pemimpin pabrik tempatku bekerja adalah seorang insinyur dengan gelar dari salah satu perguruan tinggi terbaik. Seorang lelaki yang luar biasa. Jika anda memperlihatkannya kartu dengan gambar anak tanpa telinga atau sejenisnya, dia akan dengan cepat menemukan dan menebaknya. 

Setelah waktu bekerja berakhir, aku memutuskan untuk tinggal dan membuat pipa dengan bentuk yang aneh, berliku, dan seperti ular yang melilit. Dan aku akan menjatuhkan kelereng di dalamnya. Aku tahu jika itu terdengar bodoh untuk dilakukan, dan aku bahkan tidak menikmatinya. Tapi, aku tetap melakukannya. 

Suatu malam, aku memutuskan untuk membuat pipa yang benar - benar rumit, dengan banyak liku - liku di dalamnya. Dan ketika aku menjatuhkan kelereng, tidak ada yang keluar di ujung lainnya, seperti biasnaya. Pada awalnya, aku mengira kelereng itu tersumbat di bagian tengah, tapi setelah aku mencoba dengan memasukkan kurang lebih dua puluh kelereng, aku pun sadar jika kelereng benar - benar menghilang. 

Aku pun tahu jika seluruh yang akan kukatakan terdengar bodoh. Maksudku semua orang tahu bahwa kelereng tidak hilang begitu saja, tetapi ketika kelereng masuk pada salah satu ujung pipa dan tidak keluar di ujung yang lain, itu terbilang sesuatu yang aneh. Sebenarnya, bagiku semua itu terlihat begitu sempurna. Pada saat itu, aku berniat untuk membuat pipa yang lebih besar, dalam bentuk yang sama, hingga aku dapat merayap masuk ke dalamnya dan menghilang. Ketika ide itu terlintas di kepalaku, aku merasa sangat senang dan tertawa terbahak - bahak. Aku merasa jika hari itu adalah hari pertama aku tertawa. 

Sejak hari itu, aku mulai mengerjakan pipa yang berukuran lebih besar, pipa raksasa. Tiap malam aku berurusan dengan pipa raksasa, dan di pagi hari bagian dari pipa raksasa itu kusembunyikan di gudang. Aku membutuhkan waktu selama dua puluh hari untuk menyelesaikan pipa raksasa itu. Pada malam terakhir, aku membutuhkan waktu selama lima jam untuk merakit dan membutuhkan setengah dari luas ruangan toko. 

Ketika aku melihatnya secara keseluruhan, aku tertegun dan tiba - tiba mengingat pesan guru pelajaran ilmu sosialku. Bahwa orang pertama di dunia membentuk kelompok bukan karena dia pintar atau pun dia yang terkuat. Hanya saja, yang lain tidak membutuhkan kelompok dan dia membutuhkan. Dia membutuhkan lebih dari siapa pun, untuk bertahan hidup dan mengatasi segala kelemahannya. Aku berpikir jika tidak ada orang di dunia ini yang memiliki keinginan menghilang melebihi keinginanku saat ini, dan itulah aku menemukan pipa raksasa ini. Aku yang bukan insinyur hebat dengan gelar sarjana mampu menjalankan sebuah pabrik. 

Aku mulai merayap ke dalam pipa, dan tidak tahu sama sekali akan ujung dari pipa ini. Mungkin akan ada anak - anak di sana tanpa telinga, duduk di tumpukan kelereng. Mungkin saja. Aku tak pernah tahu apa yang akan terjadi di pipa raksasa ini. Yang pasti aku ada di dalam pipa. 

Aku merasa telah menjadi malaikat. Aku punya sayap dan lingkaran di atas kepala dan ratusan malaikat lainnya ada di dalam sini. Ketika aku tiba di sini, mereka duduk di tumpukan kelereng yang aku masukkan ke dalam pipa beberapa minggu sebelumnya.    

Aku selalu berpikir jika surga adalah milik orang - orang yang menghabiskan hidupnya dengan sejumlah kebaikan, tapi tak sepenuhnya seperti itu. Tuhan begitu pemaaf dan penyayang untuk membuat keputusan seperti itu. Surga sebenarnya hanyalah milik orang - orang yang mampu berbahagia saat dia hidup di dunia. Di sini, mereka mengatakan kepadaku bahwa orang yang bunuh diri akan kembali hidup menjalani seluruh hidupnya, karena sebenarnya di kehidupan pertama mereka tidak menyukainya dan belum tentu di kehidupan keduanya akan berlaku hal yang sama. Tapi, orang - orang yang betul menyerah di dunia akan bertemu di sini. Mereka memiliki caranya masing - masing untuk menuju Surga. 

Di sini, ada seorang pilot yang melakukan loop pada satu titik tepat di atas segitiga bermuda. Ada ibu rumah tangga yang pergi lewat belakang lemari dapurnya untuk sampai di tempat ini, dan seorang matematikawan yang menemukan topological distortions dalam ruang lalu menyempitkannya lalu tiba ke tempat ini. 

Jadi, jika anda benar - benar tidak bahagia di sana, dan jika semua orang memberitahu anda bahwa anda menderita gangguan persepsi yang parah, temukanlah jalanmu sendiri untuk tiba di tempat ini, dan ketika kamu menemukannya, tolong bawa kartu remi karena di sini, kami cukup bosan bermain kelereng. 

*Etgar Keret adalah penulis asal Israel, penulis cerita pendek, novel grafis, dan naskah untuk film dan televisi. Cerpen ini salah satu cerita di bukunya yang berjudul "The Bus Driver Who Wanted To Be God and Other Stories." Terbit tahun 2004. 

Sebelumnya, cerpen ini diterjemahkan dari bahasa aslinya ke bahasa Inggris oleh Miriam Schlesinger. Dan selanjutnya diterjemahkan oleh Wawan Kurniawan ke bahasa Indonesia. 

0 komentar:

Posting Komentar